info-education-news-travel

INISIASI III MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL

ADSENSE HERE!
ilustrasi


MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL

Manusia sebagai salah satu makhluk hidup dianggap paling sempurna, apabila dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Manusia memiliki akal yang kemudian mempengaruhi pola kelakukan dan pola tindakannya. Keduanya merupakan bagian dari apa yang disebut dengan kepribadian (personality). Kepribadian atau personality, menurut Koentjaraningrat, adalah susunan akal dan jiwa yang menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan  tiap-tiap individu manusia. Setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda satu dengan yang lain. kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seseorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian situasi.

Secara umum, kepribadian memiliki beberapa unsur, yang mana unsur-unsur ini mengisi akal dan alam jiwa manusia secara sadar dan nyata terkandung dalam otak manusia. Unsur-unsur tersebut antara lain: pengetahuan, perasaan, dan dorongan nalur.  Terkait dengan hal tersebut, berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia, yaitu warisan biologis, lingkungan fisik, kebudayaan, pengalaman kelompok, dan pengalaman unik.

Seorang bayi lahir ke dunia sebagai suatu organisme kecil yang memiliki banyak kebutuhan fisik. Tetapi kemudian ia menjadi seorang manusia yang memiliki seperangkat sikap dan nilai, kesukaan dan ketidak kesukaan, dan banyak hal lainnya, melalui suatu proses yang kita sebut sebagai proses sosialisasi. Keluarga adalah unit masyarakat terkecil yang pertama kali berperan dalam penanaman nilai-nilai pada seorang anak, melalu proses belajar sosial (sosialisasi). Keluarga, kemudian, memberikan penanaman nilai-nilai sosial budaya yang lebih luas, yang menjadi dasar bagi perkembangan individu menjadi makhluk sosial. Pada perkembangan inilah seorang individu tidak hanya berpikir tentang dirinya (individu) tetap juga sudah mulai mempertimbangkan orang-orang lain di sekelilingnya (keluarga).
Di awal kehidupan seorang individu, keluarga merupakan kelompok referens yang pertama. Kelompok referens adalah kelompok tertentu di sekitar kehidupan seseorang yang cukup penting bagi diri individu tersebut yang  berperan sebagai sebagai model untuk gagasan atau norma-norma dalam bertingkah laku. Kelompok preferens berperan sebagai agen sosialisasi. Sebagai suatu agen sosialisasi awal, keluarga mempersiapkan seorang anak untuk mampu berinteraksi dengan anggota masyarakat yang lebih luas. Pada tahap ini, individu anak akan memiliki kelompok lain di luar kelompok keluarga, yaitu kelompok sebaya atau peer group (kelompok lain yang sama usia dan statusnya dengan si individu). Kelompok ini pun menjadi kelompok referens bagi individu anak tersebut.

Sejalan dengan waktu dan proses individu akan mengalami pergantian kelompok referens dan banyak mengenal agen sosialisasi lainnya selain keluarga,mulai dari teman di sekitar rumah, di sekolah, di perguruan tinggi dan kemudian di lingkungan tempat individu bekerja. Kelompok-kelompok tersebutlah yang secara terus menerus membentuk kepribadian seseorang, yang kemudian akan mempengaruhi pola pikir, pola perilaku dan kelakuannya di dalam masyarakat. Sehingga individu dapat menjadi bagian dari masyarakat yang bersangkutan.


Manusia sebagai individu memerlukan individu lain untuk dapat hidup sebagai manusia sebab manusia sebagai individu akan selalu membutuhkan individu lain untuk dapat hidup sebagai manusia. Karena kebutuhannya itu maka manusia pada hakikatnya adalah merupakan makhluk sosial. Kata “sosial” menunjuk pada society (masyarakat) sebagai suatu sistem dari kehidupan bersama. Sebagai suatu sistem dari kehidupan bersama, maka manusia pada hakikatnya tidak bisa hidup sendiri. Manusia memiliki kebutuhan untuk hidup secara berkelompok (bersama) dalam suatu ikatan nilai-nilai bersama.

Dalam kehidupannya sebagai makhluk sosial, manusia terus berusaha mengembangkan self-nya untuk tetap dapat diterima oleh kelompoknya. Perkembangan diri (self) manusia, oleh Charles H. Cooley dijelaskan dalam teorinya yang dinamakan looking-glass self, di mana Cooley melihat bahwa konsep diri seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Ia menganalogikan proses pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang sedang bercermin. Pada seseorang yang sedang bercermin, cermin akan memantulkan apa yang terdapat di depannya. Dengan demikian diri seseorang pun memantulkan apa yang dirasakan sebagai tanggapan dari orang lain terhadapnya. Dengan kata lain, proses perkembangan diri kita sebagai manusia sangat tergantung pada orang lain di sekitar kita. Untuk itulah manusia pada hakikatnya memiliki naluri untuk selalu hidup dengan orang lain (gregoriusness).

Berkaitan dengan kedudukannya sebagai makhluk sosial, manusia dihadapkan pada adanya fakta-fakta sosial. Fakta sosial, menurut Emile Durkheim, adalah cara bertindak, berpikir dan berperasaan, yang berada di luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa serta mengendalikannya. Apa yang dipikirkan, apa yang rasakan dan apa yang dilakukan oleh individu sesungguhnya bukanlah karena semata-mata keinginannya sebagai individu akan tetapi lebih dikarenakan adanya paksaan dan pengaruh dari luar dirinya. Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial, manusia selalu dihadapkan pada keharusan (paksaan yang tadi diistilahkan sebagai bagian dari fakta sosial) untuk melakukan tindakan sosial  dan interaksi sosial.

Pada saat seseorang atau suatu kelompok melakukan interaksi, maka sesungguhnya mereka melakukan apa yang disebut dengan pertukaran simbol, baik simbol verbal (bahasa yang dituangkan dalam kata-kata) maupun non-verbal (isyarat atau bahasa tubuh). Ahli sosiologi membahasnya dalam teori interaksionisme simbolis.

Berdasarkan bentuknya, interaksi sosial dapat berupa konflik dan kerja sama. Konflik sosial yang terjadi dapat bersifat laten maupun manifes. Konflik sosial yang manifes adalah konflik sosial yang nampak dan dapat kita lihat dengan jelas (misalnya tawuran pelajar, perang antarsuku, baku hantam antarpemuda, dan lain-lain). Sedangkan konflik sosial laten adalah konflik sosial yang tidak nampak di permukaan dan tersembunyi dalam hubungan sosial yang dikemas dengan baik di luarnya. Banyak pihak melihat bahwa konflik laten akan lebih berbahaya daripada konflik yang manifes, karena benih-benih konflik yang terakumulasi dalam jangka waktu yang lama dapat meledak menjadi konflik terbuka yang dasyat kapan pun. Bentuk-bentuk konflik sosial antara lain persaingan, pertentangan, kecemburuan, dan lain-lain.

Sementara, interaksi sosial yang berupa hubungan kerja sama, dapat dilakukan dalam bentuk pemberian dukungan dan bantuan baik fisik maupun non-fisik (psikologis), baik materiil maupun non-materiil, baik  berupa verbal maupun non-verbal (tindakan).

Manusia sebagai makhluk sosial selalu melakukan interaksi sosial untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Interaksi sosial merupakan syarat mutlak individu untuk bertahan hidup. Kemampuan berinteraksi sosial individu berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Interaksi sosial melibatkan diri dan lingkungan sekitarnya. Kemampuan berinteraksi sosial individu tergantung dari konsep diri yang dimilikinya. Goerge Herbert Mead, dalam teorinya tentang tahap perkembangan diri (self) manusia, melihat bahwa diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksinya dengan orang lain, yaitu 1) Tahap Play Stage, yaitu tahap di mana seorang anak mulai belajar mengambil peran orang lain yang ada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peran orang lain yang ada di sekitarnya, terutama orang tua, 2) Tahap Game Stage, yaitu tahap di mana seorang anak tidak hanya mahir menirukan perilaku, kebiasaan dan tingkah laku orang-orang lain di sekitarnya, akan tetapi ia sudah mulai memahami apa makna dan arti dari peran orang yang ditirunya, dan 3) Tahap Generalized Other, yaitu tahap di mana seorang anak telah mampu memahami perannya dan peran-peran orang lain di sekitarnya. Ia sudah mampu berinteraksi dengan orang lain dengan baik, karena ia tahu bagaimana dan apa yang diharapkan orang lain terhadapnya, dan apa peranan orang-orang tersebut untuk dirinya. Pada tahap ini seorang anak juga telah dapat mengambil peran-peran yang dijalankan orang lain dalam masyarakat (generalized other). Pihak-pihak atau orang-orang yang berperan penting dalam tahap sosialisasi ini dinamakan significant other.

Masyarakat adalah suatu sistem sosial, maka anggota-anggota masyarakat juga disebut makhluk sosial. Dalam masyarakat terdapat banyak kelompok-kelompok di mana antara satu dengan yang lain saling berhubungan atau berinteraksi. Karena ada kebutuhan saling berinteraksi antara kelompok yang satu dengan yang lain maka anggota dari satu kelompok tertentu akan dapat saling berinteraksi dengan anggota dari kelompok yang lain, bahkan, ia dapat juga masuk dan menjadi bagian dari kelompok yang lain tanpa harus terlepas dari kelompok asalnya.

Hubungan antarindividu dan hubungan antarkelompok dalam suatu masyarakat akan membentuk apa yang disebut sebagai pola hubungan/pola interaksi. Di dalam pola interaksi sosial yang terbentuk sesungguhnya berisikan pola-pola tindakan dari tiap-tiap individu yang ada. Inilah yang selanjutnya oleh Kornblum disebut sebagai struktur sosial. Struktur sosial dapat didefinisikan sebagai “the recurring patterns of behavior that create relationships among individuals and groups within a society”-- pola perilaku berulang-ulang yang menciptakan hubungan antarindividu dan antarkelompok dalam masyaraka.

Dalam membahas tentang struktur sosial, kita dihadapkan pada dua konsep utama dari struktur sosial itu sendiri, yaitu konsep “status” (status) dan konsep “peran” (role). Ralp Linton mendefinisikan status sebagai kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari status. Sehingga dalam statusnya, seseorang akan memiliki peran tertentu yang berhubungan dengan statusnya di dalam kelompok dan masyarakatnya.

Status seseorang dapat mempengaruhi kemampuan orang tersebut dalam upaya memperoleh sumber daya. Bila status seseorang dalam hierarkinya tinggi maka ia akan memiliki banyak kesempatan untuk memperoleh sumber daya yang juga lebih tinggi dari orang yang memiliki status di bawahnya. Status  berkaitan dengan perannya di dalam masyarakat. Sehingga biasanya kita menyebutnya sebagai status sosial. Sedangkan keberadaan hierarki status seseorang akan memiliki berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas sumber daya yang akan dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (ekonomi). Dengan demikian kita biasa menyebutnya dengan konsep ”status sosial ekonomi” (SSE).  Konsep status sosial ekonomi inilah yang selanjutnya sering kali dikaitkan dengan konsep kelas sosial.
ADSENSE HERE!

No comments:

Post a Comment

Copyright © cyber. All rights reserved. Template by CB. Theme Framework: Responsive Design